Beranda | Artikel
Tidak Perlu Bertanya
Senin, 15 April 2013

Dikeluarkan oleh Al Hakim dalam Mustadrak-nya (7161),

حَدَّثَنَاهُ أَبُو بَكْرِ بْنُ إِسْحَاقَ، أنبأ بِشْرُ بْنُ مُوسَى ثنا الْحُمَيْدِيُّ، ثَنَا سُفْيَانُ، عَنِ ابْنِ عَجْلَانَ، عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ رِوَايَةً قَالَ: «إِذَا دَخَلْتَ عَلَى أَخِيكَ الْمُسْلِمِ فَأَطْعَمَكَ طَعَامًا فَكُلْ وَلَا تَسْأَلْهُ وَإِذَا سَقَاكَ شَرَابًا فَاشْرَبْهُ وَلَا تَسْأَلْهُ»

“Abu Bakr bin Ishaq menuturkan kepadaku, Bisyr bin Musa mengabarkan kepadaku, Al Humaidi menuturkan kepadaku, Sufyan menuturkan kepadaku, dari Ibnu ‘Ajlan, dari Sa’id, dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, sebuah riwayat yang berbunyi,

Jika kalian datang ke rumah saudara kalian sesama muslim, lalu ia memberimu makanan, maka makanlah dan jangan bertanya. Jika ia memberimu minuman, maka minumlah dan jangan bertanya

Derajat Hadits

Seluruh perawinya tsiqah kecuali Ibnu ‘Ajlan. Ia adalah Muhammad bin ‘Ajlan Al Qurasyi. Imam Ahmad berkata: “Ibnu ‘Ajlan tsiqah“. Demikian juga Ibnu Ma’in, Abu Hatim dan Ibnu ‘Uyainah men-tsiqah-kannya. Namun Adz Dzahabi mengatakan: “para imam muta’akhirin telah menyatakan bahwa ia buruk hafalannya”. Adz Dzahabi juga menyatakan: “Ibnu ‘Ajlan terkadang meriwayatkan dari Sa’id (Al Maqbari), dari ayahnya (Kaisan Al Laitsi), dari Abu Hurairah, atau dari seseorang dari Abu Hurairah, namun terjadi ikhtilath pada hafalannya sehingga ia menyatakan dari Abu Hurairah” (Mizan Al I’tidal, 3/645). Adz Dzahabi menyatakan bahwa Ibnu ‘Ajlan statusnya shaduq dan ini yang tepat insya Allah. Perawi shaduq haditsnya hasan jika ada mutaba’ahnya.

Ibnu ‘Ajlan memiliki mutaba’ah dalam jalan yang lain. Dicatat oleh Abu Yahya Al Mushili dalam Musnad-nya (6323),

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ الْقَوَارِيرِيُّ ، حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ خَالِدٍ ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إِذَا دَخَلْتَ عَلَى أَخِيكَ الْمُسْلِمِ ، فَكُلْ مِنْ طَعَامِهِ وَلا تَسْأَلْهُ ، وَاشْرَبْ مِنْ شَرَابِهِ وَلا تَسْأَلْهُ

Abu Yahya bin Umar Al Qawariri menuturkan kepadaku, Muslim bin Khalid menuturkan kepadaku, dari Zaid bin Aslam, dari ‘Atha bin Yasar, dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: Jika kalian datang ke rumah saudara kalian sesama muslim, lalu ia memberimu makanan, maka makanlah dan jangan bertanya. Jika ia memberimu minuman, maka minumlah dan jangan bertanya

Semua perawinya tsiqah kecuali Muslim bin Khalid Al Qurasyi. Ibnu Hajar berkata: “shaduq, tapi sering ragu dalam hafalannya”. Namun ia memiliki mutaba’ah pada sanad yang pertama. Sehingga dengan memperhatikan dua jalan ini, hadits di atas statusnya shahih lighairihi.

Adapun maksud perkataan riwayatan (رِوَايَةً) dalam sanad pertama maknanya adalah marfu’an (مرفوعا), sebagaimana sering dijelaskan dalam ilmu musthalah hadits. Sehingga tidak layak mencacati riwayat tersebut karena sebab ini (Silsilah Ash Shahihah, 2/204).

Faidah Hadits

  1. Kaidah ahlussunnah wal jama’ah,

    الاصل في جميع المسلمين سلامة القصد و المعتقد حتى يظهر خلاف ذلك

    “hukum asal bagi seluruh kaum muslimin adalah memiliki keyakinan yang lurus dan aqidah yang selamat hingga nampak hal-hal yang bertentangan dengan aqidah yang lurus pada dirinya”

  2. Maka, pada dasarnya kita mesti beranggapan semua kaum muslimin itu memiliki keyakinan yang benar dalam mencari penghidupan, bahwa mereka senantiasa mencari yang halal. Prinsip ini mesti kita terapkan pada setiap kaum muslimin, kecuali kita melihat adanya indikasi pada seseorang bahwa tidak mencari rizki dari yang halal. Demikian, seorang muslim yang kita kunjungi rumahnya, kita mesti memiliki keyakinan asal bahwa ia rizkinya halal, makanannya halal, sehingga tidak perlu ditanyakan ‘makanan ini darimana?’, ‘belinya dengan cara halal atau tidak?’, ‘disembelihnya dengan cara syar’i atau tidak?’, ‘mengandung zat haram atau tidak’ atau pertanyaan-pertanyaan serupa. Kecuali, kita melihat atau mencium adanya indikasi bahwa harta atau makanannya tidak halal, barulah ketika itu kita boleh bertanya.
  3. Syaikh Al Albani menjelaskan: “orang yang dimaksudkan oleh zhahir hadits ini maksudnya adalah orang yang menilai dengan sangkaan kuat bahwa harta orang yang dikunjunginya itu halal dan terhindar dari keharaman. Adapun jika ia tidak menilai demikian, wajib bertanya. Semisal yang terjadi pada sebagian kaum muslimin yang menjadi warga negara di negara kafir. Orang-orang yang semisal mereka, wajib kita tanyakan apakah daging yang mereka hidangkan itu dibunuh biasa ataukah disembelih secara syar’i?” (Silsilah Ash Shahihah, 2/204).
  4. Dilarang membangun kecurigaan terhadap orang lain tanpa dasar.
  5. Hadits ini juga menunjukkan bahwa kita hendaknya tidak mengucapkan perkataan yang mengarah pada kecurigaan dan tuduhan. Karena dengan mempertanyakan makanan yang dihidangkan, teman kita yang menyediakan makanan akan merasa dicurigai atau dituduh menyediakan makanan yang haram.
  6. Hadits di atas juga dalil bahwa jika kita bertamu lalu dihidangkan makanan, hendaknya kita makan makanan yang dihidangkan, jangan diabaikan.
  7. Makanan yang berasal dari orang-orang yang halal sembelihannya, yang tidak nampak keharaman secara zhahirnya, maka hukum asalnya halal dan tidak perlu dipertanyakan atau dicurigai. Sebagaimana kasus tersebut pernah terjadi di zaman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam,

    أَنَّ قَوْمًا قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ نَاسًا حَدِيثِي عَهْدٍ بِالْإِسْلَامِ يَأْتُونَنَا بِاللَّحْمِ وَلَا نَدْرِي أَذَكَرُوا اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ أَمْ لَمْ يَذْكُرُوا؟ فَقَالَ: سَمُّوا اللهَ عَلَيْهِ وَكُلُوهُ

    Beberapa orang mengadukan sesuatu kepada Rasulullah: “wahai Rasulullah, ada orang yang baru masuk Islam memberi kami daging. kami tidak tahu ia menyebut nama Allah atau tidak ketika menyembelih”. Rasulullah bersabda: “kalau begitu, sebutlah nama Allah lalu kalian makanlah“. (HR. Bukhari 5507)

  8. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan hadits ini: ‘Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika bersabda kalau begitu, sebutlah nama Allah lalu kalian makanlah seolah-olah merupakan kritikan pedas terhadap mereka. Seolah-olah beliau mengatakan, ‘kalian tidak mendapat taklif (beban syariat) dari amalan orang lain. soal menyembelih (daging hadiah tersebut), itu amalan si pemberi. Dan kalian kelak (di akhirat) tidak akan ditanya mengenai amalan itu. Yang ditanya dari kalian adalah yang kalian amalkan. jadi, kalian sebutlah nama Allah dan makanlah‘. Ini jelas sekali bagi yang mau merenungkan” (Asy Syarhul Mumthi 15/84)
  9. Jika demikian pada daging sembelihan, maka makanan yang non-daging sembelihan lebih layak lagi untuk tidak dicurigai kehalalannya.
  10. Islam melindungi umatnya dari was-was, karena was-was adalah penyakit jiwa yang dihembuskan setan. Sering curiga dan khawatir terhadap kehalalan makanan padahal zhahirnya tidak ada keharaman, adalah bentuk was-was. Allah Ta’ala berfirman:

    قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ مَلِكِ النَّاسِ إِلَهِ النَّاسِ مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ مِنْ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ

    Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. Dari kejelekan was-was setan yang biasa bersembunyi, yang menimbulkan was-was dalam dada manusia. Dari (golongan) jin dan manusia” (QS. An Naas)

  11. Namun jika kekhawatiran tersebut dilandasi indikasi-indikasi yang kuat, namun tidak sampai tingkat yakin, maka itu disebut asy syakk atau ragu. Para ulama mengatakan,

    الشك اي ادراك الشيئ مع احتمال مساو

    Asy Syakk (ragu) adalah mengetahui sesuatu namun terdapat kemungkinan lain yang tingkat keyakinannya 50:50″

  12. Jika itu syakk (ragu), maka wajib bertanya dalam rangka tabayyun (klarifikasi). Jika tidak bisa tabayyun maka berlaku hadits:

    دع ما يريبك إلى ما لا يريبك

    Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu” (HR. Tirmidzi 2518, ia berkata: “hasan shahih”)

  13. Makanan yang beredar di negeri kaum muslimin dan tidak nampak keharaman secara zhahir, hukum asalnya halal walaupun tidak ada cap halal. Kecuali ada keraguan yang didasari indikasi atau kabar yang bisa dipertanggung-jawabkan bahwa makanan tersebut mengandung keharaman. Lebih lagi jika buktinya otentik sampai tingkatan yakin itu mengandung keharaman, maka wajib ditinggalkan.

Baca juga: Hukum Makan Dan Minum Dengan Tangan Kiri

Penulis: Yulian Purnama
Artikel: Muslim.or.id


Artikel asli: https://muslim.or.id/13175-tidak-perlu-bertanya.html